pinterest.com |
Tak sabar rasanya jemari ingin
segera meluncur ke papan ketik. Pulang lagi ke kos hari ini setelah beberapa
menginap di rumah saudara membuatku rindu seper tiga dengan kamar kos nan mini
ini. Aku segera membuat Indomie (*bukan endorse) untuk makan siangku, makanan
andalan anak kos yang enggan sibuk di dapur bukan karena malas, tapi sepertinya
ujian yang barusan dilewati sedikit menegangkan. Sambil membuat mi, pikiranku
menjalar ke mana-mana. Aku benar-benar terinspirasi oleh kedua buku yang
barusan aku baca. Satunya sudah selesai satunya lagi setengah jalan.
Buku yang aku sudah selesai baca
yaitu “Rentang Kisah” buku sang idola Gita Savitri Devi. Aku merasa sedang
membaca blognya waktu membaca buku itu. Aku juga jatuh hati untuk rasa yang
sama pada buku karya Ernest Hemingway, sebuah buku yang awalnya kupikir akan
membosankan dengan beberapa kosakata asing yang tak aku mengerti. Aku tidak
suka membuang-buang begitu saja buku atau barang yang kubeli. Simple, sayang
uang dan waktu nabungnya kalau ndak dipakai. Aku memaksa mataku membaca satu
per satu dan eng ing eng “aku jatuh cinta pada tulisanmu Hemingway, lebih
tepatnya pada ceritamu membuat tulisan ini” begitu kataku dalam hati. Aku
benar-benar terpacu sekarang karena suntikan pertama itu. Terima kasih
Hemingway dan Kak Gita.
Aku ingin melontarkan beberapa hal
yang sudah berhari-hari menghantui pikiran. Sudah sumpek rasanya dan ingin
segera aku keluarkan. Ya sudahlah aku tak jadi-jadi mem-videokannya aku luapkan
di blog pribadi saja yang menurut Kak Gita sama seperti diary ini. Aku bebas di
sini, yang Kata Hemingway aku tak perlu menggunakan bahasa baku menjelaskannya.
Sejak menonton tayangan sebuah ajang
pencarian bakat yang terkenal di negeri ini bahkan dunia. Aku tertarik sama
video seorang kontestan, aku bukan bilang aku fan sama dia, tidak sama sekali.
Aku malah tertarik sama komentar netizen yang menurutku darurat. Iya, darurat
komentar positif. Ya setiap kata yang dilontarkan benar-benar menyayat. Aku
jadi berpikir terbuat dari apa hati si kontestan yang dikomentari ini? Banyak
netizen yang seenaknya berkomentar. Bahkan lucunya banyak yang pakai fake account untuk membully orang yang
mereka tidak suka. Pertanyaan-pertanyaan sering bermunculan di pikiranku. Apa
pekerjaan mereka tiap hari hanya mencari-cari kesalahan orang terus membully?
Sudah sehebat apa sih sampai-sampai merasa layak melontarkan ujaran-ujaran
kebencian yang belum tentu di dengar sama target bullying mereka?
Aku benar-benar tidak habis pikir.
Rasanya dunia yang makin maju melunturkan budaya saling menghargai. Orang-orang
gampang mengucapkan “ketidaksukaan” atau melontarkan “hate speech mereka” pada
orang yang mereka tidak suka. To me, it’s
not make sense! Kita tidak tahu dalam artian tidak kenal orang itu terus
kita dengan alasan kecewa melontarkan kemarahan kita.
Satu sisi ada baiknya juga berkomentar,
tapi kalau sudah darurat komentar positif gimana dong? Kalau jatuhnya cuma
pengen cari sensasi dan menjatuhkan orang lain gimana dong? Seakan nampak kalau
kita tidak setuju dengan apa yang diraih atau dilakukan orang lain.
Ini juga nih yang sering aku
pikirkan, akhir-akhir ini aku sering mengamati. Kita manusia jadi sering
gampang banget menilai sesama tanpa ada fakta? Seolah-olah peramal, dengan
ringannya kita bilang. “idih baru juga begini atau begitu, uh sombongnya minta
ampun” atau “ah anaknya bergaya banget padahal bla.. blaa… bla…” guys you need
to look at your self first. Tidak ada orang yang sempurna dan melakukan sesuatu
tanpa alasan.
Aku beberapa kali bertemu dengan
orang-orang yang selalu dinilai negatif yang nyatanya punya sikap dan cara
pandang yang jauh lebih baik dari orang-orang yang merasa dirinya sempurna.
Orang melihat yang dipermukaan tanpa pernah berpikir, kira-kira kenapa ya dia
begitu? Orang pendiam tiba-tiba kita bilang sombong. Padahal alaminya memang
dia tidak suka bicara. Hujatan-hujatan kita lontarkan dengan anggapan we are
better. Padahal yang tahu kita baik atau buruk bukan kita sendiri tapi orang
lain juga. Aku tidak paham di mana letak seninya? Apa untungnya menghujat? Apa memang
seberat itu mengakui kelebihan orang? Gampangnya kalau tidak suka sama karya
atau kontestannya sendiri, ya di-skip saja videonya? Mudahkan? Sama-sama
menguntungkan.
Beberapa kali aku juga mendengar
penilaian-penilaian yang kurang bisa kuterima. Penilaian yang menganggap si A
jahat karena.. si B lebih baik karena… hal yang menurut aku agak fatal.
Persepsi orang-orang berbeda-beda tentang kebaikan, bukan karena dia tidak
membantu kita saat kita butuh berarti orang itu jahat. Sekali lagi ada alasan
di balik itu semua. Tidak perlu merasa paling benar. Begitupun dengan diriku
sadar dengan segala kekurangan yang sebenarnya masih jauh dari hal-hal baik. Cuma
at least di titik ini aku sadar akan makna “don’t
judge a book by its cover”.
Oh iya, buat kamu yang baru menjadi
anak rantauan di sana. Tenang saja, semuanya akan berlalu. Kamu pasti bisa
beradaptasi di sana. Nanti levelnya ndak naik-naik kalau galau terus. Lingkungan yang sudah berubah akan memberimu sedikit tantangan untuk naik kelas. Bersabarlah...
Mataku mulai lelah, aku ingin
menyelesaikan makan siangku. Mungkin besok aku akan kembali lagi dengan cerita
yang lebih berfaedah. Kalau kalian punya pendapat lain atau yang sama juga
boleh, silahkan share ya di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.
You also made me fall in love after reading this blog post heheheu❤
ReplyDeleteHi, Nia thank you for visiting my blog. I also read your post on your blog. 💚
Delete