Lembaran yang Enggan Diganti



 
Foto: http://www.profkrg.com
Jelas bukan puisi yang akan aku  lontarkan. Aku sedang mengingat-ingat kejadian yang sejak tadi pagi menemaniku menunggu jadwal praktikum. Celotehan beberapa mahasiswa yang juga menunggu kelas yang terasa lebih lama untuk dimulai. Aku sedang terduduk di sini, mencoba melahap kata demi kata buku yang aku pinjam dari kakakku beberapa bulan yang lalu. Bukan karena tak selera membaca buku ini. Aku sungguh tertarik terlebih karena bahasa yang digunakan adalah bahasa inggris. Jadi, aku bisa sekalian menabung kosakata yang benar-benar minus dalam otakku. Ya, seperti itulah karena bahasanya, makanya aku lebih lamban dari kura-kura yang sedang berlomba dengan kelinci.
Satu lagi kejujuran yang ingin kukatakan padamu. Aku benar-benar suntuk. Malam yang kulalui terasa singkat. Tak cukup rasanya waktu yang kugunakan menikmati indahnya pulau  kapuk. Padahal semalam aku tak berselancar di media sosial, hiburan yang kubesar-besarkan lantaran kamar kecil itu tak memiliki layar televisi. Kubaca kata demi kata, mulai kutulis dalam selembar kertas kata yang baru kutemukan. Memang tak gampang kuingat bahasa orang yang akan kujadikan bahasa sehari-hariku kelak. Hanya saja aku bukanlah orang yang akan menyerah meskipun orang bilang air tidak dapat menyatu dengan minyak. Siapa bilang? Kemarin dosenku bilang minyak dan air bisa menyatu. Kau penasaran? Masuklah jurusan farmasi aku dan teman-temanku akan mengajarimu caranya hehehe.
Sembari memaksa lembaran yang enggan diganti beralih, sesekali telingaku begitu tertarik mendengarkan celotehan sekelompok mahasiswa yang ada di depanku ini. Apa itu perlu kuceritakan padamu? Oke, baiklah aku mengerti harus kuceritakan bukan. Bacalah baik-baik.
Selama mereka berceloteh aku cukup senang dengan cara mereka yang nampak menyembunyikan kebosanan dan capek karena semalaman begadang mengerjakan tugas. Malahan ada yang membuat teman-temannya tertawa karena jawaban-jawabannya yang konyol. Simak sepenggal percakapan mereka. Sebut saja namanya Mawar dan Melati.
“Mawar, kau sudah dapat literatur untuk praktikum hari ini?” tanya Melati yang sudah agak panik
“Ais, tak usahlah kau pusing. Kalau tak masuk amanlah kita cuma alpa di satu praktikum saja”
“Bagaimana kalau praktikum berikutnya kau tak masuk juga”
“Hei, dengar sejenak, tahun depan itu kau masih bisa ikut semua praktikum dari awal” Jawab
“Alamak, maksudmu, mengulang lagi? Habislah uangku”
           
            Otakku semakin enggan diajak kompromi, 10 kata yang kutulis dilembaran warna-warni ini tak membuatnya mudah diserap. Lagi kudengar celotehan mereka soal artis-artis tanah air yang tidak ada habisnya dibahas. Aku mencoba mendengarkan meski aku tak begitu tertarik. Ya, memang benar aku tak tertarik tapi ada hal yang membuatku memasang telinga baik-baik. Ini mengenai pendapat mereka tentang pasangan sang artis. Membandingkan sang mantan dan calon suami. Ada yang pro dan ada yang kontra. Jelas sekali terlihat kalau masih banyak orang yang memandang orang lain hanya karena penampilan. Menilai sifat orang dari luarannya. “Ah si dia brewokan, pasti dia tak baik” padahal belum tentu benar adanya.
            Mondar-mandir di depanku seorang cewek yang sibuk dengan jualannya. Aku tersipu melihat tingkahnya yang begitu bersemangat. Entahlah, apa karena jualannya yang begitu banyak terjual atau memang semangatnya yang tak terkalahkan. Yang jelas yang kulihat di sinilah sedikit perbedaan antara mahasiswa tingkat 2 dan tingkat yang nyaris usai. Memang kenyataannya sudah berada di masa-masa kejenuhan maka semangat pun nyaris pupus.
            Tak pelik bila tampang mereka (mahasiswa tingkat akhir) yang sedang berada di depanku ini begitu lesuh. Ya, aku sekarang sedang mengawasi mereka untuk praktikum kimia. Kesekian kalinya aku tersenyum, membayangkan tentang aku ditahun sebelumnya. Masa-masa yang meletihkan kala itu. Wajah pucat yang ada dihadapanku ini mungkin tak cukup puas dengan makan siangnya atau hanya karena gincu pemerah bibir yang sudah memudar. Entahlah, sesekali mereka mengkerutkan wajah. Mengusap dahi memikirkan lembaran kosong yang belum terisi. Percayalah, aku juga pernah berada di posisi itu.
            Cerita hari ini cukup memuaskan untuk aku pelajari. Buat kalian yang membacanya siapapun. Tetap semangat berjuang demi mimpi-mimpi kita. Selesaikan apa yang sudah dimulai. Sosok yang sudah setengah baya itu sudah menunggu waktu tali toga akan dipindahkan.

Comments