Foto : doc pribadi |
Awal tahun 2013,
merupakan babak baru dimulainya cerita ini. Waktu itu, aku dipilih oleh Pak
Steve (guru SMAN 2 Kupang), untuk mengikuti lomba jurnalistik. Nah, lombanya
dirangkaikan dengan acara lomba basket antar SMA se-daratan Timor. Believe me,
ini adalah pengalaman pertamaku ikut lomba jurnalistik. Jangankan tentang dunia
jurnalistik, mata pelajaran Bahasa Indonesia saja masih jatuh bangun.
Bermodalkan
“nekad” ya sudah aku ikut saja. Pikirku, ya lumayanlah nambah-nambahin
pengalaman kan? Jadi tugasnya adalah meliput berita mengenai pertandingan yang
berlangsung dalam beberapa hari (sesuai waktu lomba yang ditetapkan). Jadi tiap
hari, sepulang sekolah sekitar pukul 16.00 WITA, aku menuju ke GOR Oepoi
membawa pena, buku tulis serta kamera sebagai senjata dan berangkatnya itu
dengan menggunakan bemo (read: angkot). Sampai disana biasanya kalau bukan
jadwal pertandingan sekolahku, aku lebih banyak duduk sendiri.
Kadang aku
bingung apa yang harus aku tulis. Pas baca-baca koran di pojok sport banyakan membahas hasil
pertandingan, terus siapa yang menang dan siapa yang kalah. Akhirnya aku
mengambil artikel-artikel tersebut sebagai contoh. Tidak sedikitpun terbesit
dibenakku untuk membahas mengenai supporter yang heboh, atau sosok dalam
pertandingan. Maklum, masih awam banget hahaha. Alhasil kerjaanku adalah duduk
manis di pojokan stadion menunggu hasil akhir pertandingan, menghitung score
akhir masing-masing tim de es be.
Pulangnya
malam sekitar pukul 21.00 WITA (masih pakai angkot juga saudara-saudara).
Sampai rumah, masih harus mengedit tulisan, mengerjakan PR, belajar buat ujian dan
huh aku rasa itu semua lebih berharga dari pengumuman yang keluar. Aku di-SMS
sama wakil ketua redaksi koran yang bersangkutan yang menjadi penyelenggara lomba bahwa
“Unfortunately, aku harus berbesar hati, karena aku belum bisa jadi juara”.
Lucunya aku malah bertanya kenapa aku tidak menang Pak? (sambil nangis waktu
itu hahahaha). Yap, kira-kira inilah part lucu menurut aku yang kurang
tergambarkan dengan jelas. Jawabannya kutemukan keesokan harinya dimana aku
melihat tulisan yang dapat juara itu memang lebih kece dari hasil yang aku
tulis.
Masih galau
waktu itu, sampai aku ingat kembali bahwa sehari sebelum lomba aku sempat pergi
ke kantor koran tersebut membicarakan perlombaan ini. Aku juga sempat bertanya
mengenai bagaimana kalau cerpen kita mau diterbitkan di koran. Puji Tuhan
dikasih jalan, sang wakil ketua redaksi memberikan emailnya kepada saya. Waktu
itu ke kantor mereka, aku ditemani oleh si imut Nurmiyanti, kebetulan kakaknya
juga kerja disana jadi sudah lumayan familiar dengan wajah-wajah disana. FYI,
awalnya aku bertanya soal bagaimana cerpennya itu bisa diterbitkan karena ada
temanku yang sempat penasaran cara agar tulisan kita diterbitkan di koran. Alasan
utama aku bertanya karena ada beberapa file cerpen di NB yang aku pikir
alangkah bagusnya kalau bisa di baca oleh orang lain.
Selang beberapa
hari aku amaze banget karena, cerpen pertamaku diterbitkan. Ke sekolah sampai
bawa-bawa koran buat kuperlihatkan ke sahabatku (lol). Bahkan tak
disangka-sangka kepala sekolahku juga membaca beberapa cerpenku dan sangat
mengapresiasinya.
Hal yang paling
penting disini antara aku, cerpen dan koran adalah saat aku sadar tidak ada
yang sia-sia jika kita mau berjuang. Mungkin memang waktu itu aku tidak bisa
menjadi sang juara. Tapi, at least, aku mendapatkan kesempatan yang jauh lebih besar
dari itu, dimana tulisanku di baca oleh orang lain. Tidak sedikit juga yang mengatakan “Ah biasa
saja”, tapi aku betul-betul bersyukur.
Tetap semangat untuk berkarya teman-teman.
Terima Kasih Sudah Membaca
Hi ELF, ttp berkarya juga sob :)
ReplyDelete